Kisah
berawal dari 11 anak Belitong yang tergabung dalam “Laskar Pelangi”, cerita
yang di buat oleh Andrea Hirata yang melukiskan kehidupan anak-anak pedalaman
Belitong. Dengan wilayah Belitong yang memiliki hasil tambang melimpah, tetapi
dalam kenyataannya mereka masih hidup miskin. Dengan keadaan yang seperti
inilah, ternyata anak-anak Belitong tersebut memiliki semangat juang yang luar
biasa untuk melakukan perubahan yang besar terhadap nasib mereka melalui jalur
sekolah. Walaupun sebenarnya orang tua mereka lebih suka jika mereka membantu
pekerjaan orang tua dibanding sekolah yang belum jelas masa depannya.
Di
sebuah sekolah Muhhammadiyah dikampung yang terancam tutup jika muridnya
kurang. Tetapi anak-anak itu berhasil menyelamatkan masa depan pendidikan yang
hampir redup digilas ekonomi. Dari ank-anak itu yang paling menonjol adalah
Lintang dan Mahar. Lintang jenius dibidang eksakta, sedangkan Mahar pandai
dibidang seni budaya. Lintang memiliki semangat juang yang tinggi dalam
mendapatkan ilmu. Ia rela menempuh perjalanan berpuluh-puluh kilo meter. Bila
ada halangan, itu tak menjadikan masalah bagi dirinya yang penting ia bisa
menyanyikan lagu “Padamu Negri” diakhir jam pelajaran. Kemudian sebuah pohon
yang bernama Filicium merupakan saksi drama kehidupan “Laskar Pelangi”. Pohon
itu menjadi markas mereka untul membicarakan soal-soal di sekolah dan tempat
Lintang memberikan ilmu fisika pada teman-temannya.
Anak-anak
itu hidup dalam kebahagiaan dan menyimpan mimpi di hari esok. Tapi ternyata setelah beberapa tahun kemudian,
mereka mengadu nasib yang menentukan kehidupan mereka selanjutnya. Padahal
mereka adalah bibit-bibit unggul mutiara bangsa yang seharusnya bisa merasakan
kebahagiaan seperti anak-anak lainnya. Hanya karena himpitan ekonomi, mereka
harus merelakan kebahagiaan. Mereka terpaksa tunduk dalam gilasan nasib yang
semestinya di upayakan oleh pemerintah sebagai pihak untuk memajukan dunia
pendidikan.
Keunggulan
novel ini adalah mengenai pentingnya dunia pendidikan khususnya sekolah dan
moral agama. Novel ini sangat menarik untuk dibaca generasi muda penerus bangsa
yang terlena dengan limpahan harta atau ekonomi dan tak mengenal jerih payah
untuk menggapai masa depan.
Kelemahan
novel ini terletak pada cara mengakhiri cerita. Sebaiknya novel ini di akhiri
pada bab 33. Bab 34 Gotik menurut saya membingungkan sebab penutur “Aku” tiba-tiba berubah menjadi
orang lain dan bukan lagi Ikal, yang menjadikan kemubaziran.